Selasa, 30 April 2013

Rational Emotive Therapy


1.      Pendahuluan
Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Albert Ellis, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Terapi ini hakekatnya dibangun berdasar atas ketidakpuasan Albert Ellis terhadap teori psikoanalisa serta berdasar atas pemahamannya tentang teori behavioral.
Rational Emotive Therapy (RET) ini merupakan sintesis baru dari Behavior Therapy yang klasik (termasuk Skinnerian Reinforcement dan Wolpein Systematic Desensitization). Oleh karena itu Ellis menyebut terapi ini sebagai Cognitive Behavior Therapy atau Comprehensive Therapy.

2.      Konsep-konsep utama
RET dibangun berdasar atas filosofi bahwa “apa yang mengganggu jiwa manusia bukanlah peristiwa-peristiwa, tetapi bagaimana manusia itu mereaksi atau berprasangka terhadap peristiwa-peristiwa tersebut”.
Secara umum dikatakan bahwa anak-anak dan juga binatang memiliki sejumlah keterbatasan emosi dan cenderung untuk cepat emosi. Seiring dengan pertambahan usia, maka ketika anak-anak cukup mampu menguasai bahasa secara efektif, mereka memperoleh kemampuan untuk mempertahankan emosinya dan sedapat mungkin menjaga emosi-emosinya yang terganggu. RET tidak memusatkan perhatian kepada peristiwa-peristiwa masa lalu, tetapi lebih kepada peristiwa yang terjadi saat ini dan bagaimana reaksi terhadap peristiwa tersebut. RET juga percaya bahwa setiap manusia mempunyai pilihan, mampu mengontrol ide-idenya, sikap, perasaan, dan tindakan-tindakannya serta mampu menyusun kehidupannya menurut kehendak atau pilihannya sendiri.
RET didasari asumsi bahwa manusia itu dilahirkan dengan potensi rasional dan juga irasional. Seseorang berperilaku tertentu karena ia percaya harus bertindak dalam cara itu. Sedangkan gangguan emosional terletak pada keyakinan irasional. Dengan kata lain keyakinan irasional lah yang menyebabkan gangguan emosional. Bila seseorang mereaksi sesuatu dengan keyakinan irasional, maka ia akan memandang diri sendiri dan orang lain sebagai jahat, kejam, atau mengerikan. Asumsi lainnya, bahwa berfikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah, tetapi dua hal yang saling tumpang tindih, dan dalam prakteknya saling terkait.
Dalam teorinya, Albert Ellis juga menyatakan bahwa secara alamiah setiap manusia adalah irasional, mengalahkan dirinya sendiri, sehingga perlu pemikiran dengan cara-cara lain. Ia juga menyatakan bahwa secara alamiah manusia dapat menjadi “helpful” dan “loving” sepanjang mereka tidak dapat berfikir rasional. Dijelaskan pula tentang adanya siklus tertentu dalam berfikir irasional, dimana ketika seseorang dikuasai pemikiran irasional, maka pemikiran tersebut akan mengarahkan kepada kebencian diri. Kebencian diri selanjutnya akan mengarahkan kepada perilaku merusak diri (self destructive), dan kemudian secepatnya menumbuhkan kebencian kepada orang lain. Kebencian terhadap orang lain, pada akhirnya menyebabkan orang lain mereaksi secara irasional. Sedangkan adanya reaksi irasional orang lain, akan menjadikan pemikiran rasionalnya semakin terpelihara.
Dalm pandangan RET, kecemasan bukanlah irasional, tetapi sebagai ketidaktepatan perasaan (inaproproate feeling) yang terbangun secara luas dari ide-ide rasional. Dijelaskan oleh Burk dan Stefflre (1983) bahwa ketepatan perasaan umumnya berisi berbagai jenis perasaan yang muncul ketika terjadi halangan terhadap kebutuhan, keinginan, atau harapan-harapannya. Ketepatan emosi positif termasuk cinta, kebahagiaan, kesenangan, dan rasa ingin tahu. Ketepatan emosi negative dapat berupa duka cita, penyesalan, frustasi, gangguan, kejengkelan, tidak puas, dan sifat lekas marah. Emosi negative disebut “sesuai” atau “tepat” karena selalu membantu orang untuk merubah kondisi-kondisi yang dialami kearah yang lebih baik atau lebih obyektif. Sedangkan ketidaktepatan emosi selalu berisi perasaan-perasaan seperti tertekan, permusuhan, putus asa, kecemasan, dan perasaan-perasaan tidak berharga. Disebut tidak tepat, karena secara normal tidak membantu manuia untuk merubah kondisi-kondisi tersebut, tetapi seringkali membantu mereka pada kondisi yang lebih buruk.

3.      Terapi Rasional – Emotif dan Teori Kepribadian
Neurosis adalah pemikiran dan tingkah laku irasional. Gangguan-gangguan emosional berakar pada masa kanak-kanak, tetapi dikekalkan melalui reindoktrinasi sekarang. Sistem keyakinan adalah penyebab masalah-masalah emosional. Oleh karenanya, klien ditantang untuk menguji kesahihan keyakinan-keyakinan tertentu. Metode ilmiah diterapkan pada kehidupan sehari-hari.
Emosi-emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berpikir buruk tentang sesuatu, maka kita pun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk. Ellis menyatakan bahwa "gangguan emosi pada dasarnya terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik terhadapnya, orang yang terganggu beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah".
RET berhipotesis bahwa karena kita tumbuh dalam masyarakat, kita cenderung menjadi korban dari gagasan-gagasan yang keliru, cenderung mendoktrinasi diri dari gagasan-gagasan tersebut berulang-ulang dengan cara yang tidak dipikirkan dan autsugestif, dan kita tetap mempertahankan gagasan-gagasan yang keliru dalam tingkah laku overt kita. Beberapa gagasan irasional yang menonjol yang terus menerus diinternalisasikan dan tanpa dapat dihindari mengakibatkan kesalahan diri.

4.      Tujuan terapeutik
Ellis menunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam RET yang diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu : "meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik". Tujuan psikoterapis yang lebih baik adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri merka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka.
Ringkasnya, proses terapeutik terdiri atas penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbhagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional. Proses terapi, karenanya sebagian besar adalah proses belajar-mengajar. Menghapus pandangan hidup klien yang mengalahkan diri dan membantu klien dalam memperoleh pandangan hidup yang lebih toleran dan rasional. Tujuan dari Rational Emotive Theory adalah:
·         Memperbaiki dan mengubah segala perilaku yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.
·         Menghilangkan gangguan emosional yang merusak.
·         Untuk membangun Self Interest, Self Direction, Tolerance, Acceptance of Uncertainty, Fleksibel, Commitment, Scientific Thinking, Risk Taking, dan Self Acceptance Klien.

5.      Teori A-B-C tentang Kepibadian
RET dimulai dengan ABC:
A.    Adalah activating experiences atau pengalaman-pengalaman pemicu, seperti kesulitan-ke­sulitan keluarga, kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal lain yang kita anggap sebagai penye­bab ketidak bahagiaan.
B.     Adalah beliefs, yaitu keyakinan-ke­yakinan, terutama yang bersifat irasional dan merusak diri sendiri yang merupakan sumber ketidakbahagiaan kita.
C.     Adalah consequence, yaitu konsekuensi-konsekuensi berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti panik, dendam dan amarah karena depresi yang bersumber dari keyakinan-­keyakinan kita yang keliru.
Pada dasarnya, kita merasakan sebagaimana yang kita pikirkan. Maka, alangkah lebih baiknya apabila kita selalu memiliki perasaan positif. Tindakan palilng efisien untuk membantu orang-orang dalam membuat perubahan-perubahan kepribadiannya adalah dengan mengkonfrontasikan mereka secara langsung dengan filsafat hidup mereka sendiri, menerangkan kepada mereka bagaimana cara berfikir secara logis, sehingga mengajari mereka untuk mampu mengubah atau bahkan menghapuskan keyakinan-keyakinan irasionalnya.
Ellis menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus melawan keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.
Dalam pelaksanaan RET ini, terapis harus benar-benar mengenal dirinya sendiri dengan baik, sehingga ia bisa memisahkan falsafah hidupnya dan tindak memaksakan keyakinannya pada klien. Disamping itu, terapis juga harus mengetahui timing yang tepat untuk memberikan dorongan pada klien. Terapis harus menghindari terjadinya indoktrinasi atas diri klien. Yang perlu dilakukan terapis hanyalah menyampaikan kepada klien apa yang salah dan bagaimana klien harus mengubahnya menjadi benar.
Ellis juga menambahkan bahwa secara biologis manusia memang “diprogram” untuk selalu menanggapi “pengkondisian-pengkondisian” semacam ini. Keyakinan-keyakinan irasional tadi biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan absolut. Ada beberapa jenis “pikiran­-pikiran yang keliru” yang biasanya diterapkan orang, di antaranya:
1)      Mengabaikan hal-hal yang positif.
2)      Terpaku pada yang negative.
3)      Terlalu cepat menggeneralisasi.

6.      Fungsi dan peran terapis
Aktifitas-aktifitas therapeutic utama RET dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu : membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang rasional dan takhyul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayaannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik yaitu :
a.       Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku.
b.      Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasannya.
c.       Menunjukkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya.
d.      Menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien.
e.       Menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan-keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.
f.       Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien
g.      Menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris, dan
h.      Mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara bepiki sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan iasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekaang maupun masa yang akan datang, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku yang merusak diri.

7.      Hubungan antara terapis dan klien
Terapis berfungsi sebagai guru dan klien sebagai murid. Hubunagn pribadi antara terapis dan klien tidak esensial. Klien memperoleh pemahaman atas masalah dirinya dan kemudian harus secara aktif menjalankan pengubahan tingkah laku yang mengalahkan diri.

8.      Teknik-teknik dan prosedur-prosedur utama
Terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal. Prosedur – prosedurnya difokuskan pada kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya mencapai keberhasilan dalam hidup. Dalam membantu klien untuk menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut:
1)      Terlibat dalam permainan peran dengan klien.
2)      Menggunakan humor.
3)      Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun.
4)      Membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang sesifik bagi tindakan.
5)      Bertindak sebagai model dan guru.
6)      Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi.
7)      Menggunakan "terapi kejutan vebal" atau sarkasme yang layak untuk mengkonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis.
8)      Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.
9)      Manusia berfikir, berperasaan dan bertindak secara serentak. Kaitan yang begitu erat menyebabkan jika salah satu saja menerima gangguan maka yang lain akan terlibat sama. Jika salah satu diobati sehingga sembuh, dengan sendirinya yang dua lagi akan turut terobati.
Atas pandangan itu, walaupun RET lebih menitikberatkan aspek kognitif dalam perawatan, tetapi aspek tingkah laku dan emosi turut diberi perhatian. Oleh sebab itulah dalam RET, terdapat tiga teknik yang besar: Teknik-teknik Kognitif; Teknik-teknik Emotif dan Teknik-teknik Behavioristik.

9.      Kelebihan dan kekurangan RET
Kebaikan
1)      Pendekatan ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan itu perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
2)      Kaedah pemikiran logik yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi gejala yang lain.
3)      Klien merasakan diri mereka mempunyai keupayaan intelektual dan kemajuan dari cara berfikir.
Kelemahan
1)      Ada klien yang boleh ditolong melalui analisa logik dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu geliga otaknya untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
2)      Ada setengah klien yang begitu terpisah dari realiti sehingga usaha untuk membawanya ke alam nyata sukar sekali dicapai.
3)      Ada juga klien yang terlalu berprasangka terhadap logik, sehingga sukar untuk mereka menerima analisa logik.
4)      Ada juga setengah klien yang memang suka mengalami gangguan emosi dan bergantung kepadanya di dalam hidupnya, dan tidak mahu membuat apa-apa perubahan lagi dalam hidup mereka.

10.  Langkah-langkah terapi rasional emotif
1)      Langkah pertama
Konselor berusaha menunjukkan bahwa cara berfikir klien harus logis kemudian membantu bagaimana dan mengapa klien sampai pada cara seperti itu, menunjukkan pola hubungan antara pikiran logis dan perasaan yang tidak bahagia atau dengan gangguan emosi yang di alami nya.
2)      Langkah kedua
Menunjukkan kepada klien bahwa ia mampu mempertahankan perilakunya maka akan terganggu dan cara pikirnya yang tidak logis inilah yang menyebabkan masih adanya gangguan sebagaimana yang di rasakan.
3)      Langkah ketiga
Bertujuan mengubah cara berfikir klien dengan membuang cara berfikir yang tidak logis.
4)      Langkah keempat
Dalam hal ini konselor menugaskan klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata.

DAFTAR PUSTAKA
Pujosuwarno Sayekti, M.Pd, Dr. 1993. Berbagai Pendekatan Dalam Konseling. Menara Mas Offset: Yogyakarta.
Corey Gerald, Teori dan Paktek Konseling & Psikoterapi, PT Refika Aditama : Bandung, 2007.
Amir Awang. Pengantar Bimbingan dan Konseling Di Malaysia. Pulau Pinang: University Sains Malaysia, 1997, hlm. 78
Surya Mohammad. Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Konsep dan Teori). Kota Kembang: Yogyakarta ,1988. hlm.182
Sukardi Dewa Ketut. Pengantar Teori Konseling. Ghalia Indonesia: Jakarta, 1985. hlm.91-92

Senin, 22 April 2013

Analisis Transaksional

A.    LATAR BELAKANG
      Analisis Transaksional (AT) adalah salah satu pendekatan Psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. AT dapat dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri.
      AT dikembangkan oleh Eric Berne tahun 1960 yang ditulisnya dalam buku Games People Play. Berne adalah seorang ahli ilmu jiwa terkenal dari kelompok Humanisme. Pendekatan analisis transaksional ini berlandaskan teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu : orang tua, orang dewasa, dan anak. Pada dasarnya teori analisis transaksional berasumsi bahwa orang-orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir, dan memutusakan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan- perasaannya. Dalam mengembangkan pendekatan ini Eric Berne menggunakan berbagai bentuk permainan antara orang tua, orang dewasa dan anak. 
      Dalam eksprerimen yang dilakukan, Berne mencoba meneliti dan menjelaskan bagaimana status ego anak, orang dewasa dan orang tua, dalam interaksi satu sama lain, serta bagaimana gejala hubungan interpersonal ini muncul dalam berbagai bidang kehidupan seperti misalnya dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam sekolah, dan sebagainya.
      Dari eksperimen ini Berne mengamati bahwa kehidupan sehari-hari banyak ditentukan oleh bagaimana ketiga status ego (anak, dewasa, dan orang tua) saling berinteraksi dan hubungan traksaksional antara ketiga status ego itu dapat mendorong pertumbuhan diri seseorang, tetapi juga dapat merupakan sumber-sumber gangguan psikologis. Percobaan Eric Berne ini dilakukan hamper 15 tahun dan akhirnya dia merumuskan hasil percobaannya itu dalam suatu teori yang disebut Analisis Transaksional dalam Psikoterapi yang diterbitkan pada tahun 1961. Selanjutnya tahun 1964 dia menulis pula tentang Games Pupil Play, dan tahun 1966 menerbitkan Principles of Group Treatment. Pengikut Eric Berne adalah Thomas Harris, Mc Neel J. dan R. Grinkers.

B.     KONSEP DASAR PANDANGAN TENTANG SIKAP MANUSIA
      Menurut Gerald Corey, analisis transaksional berakar pada filosofi antideterministik. Analisis ini juga mengakui bahwa mereka dipengaruhi oleh harapan serta tuntutan oleh orang lain yang signifikan baginya, terutama oleh karena keputusan yang terlebih dahulu telah dibuat pada masa hidupnya mereka pada saat mereka sangat tergantung pada orang lain. Tetapi keputusan dapat ditinjau kembali dan ditantang, dan apabila keputusan yang telah diambil terdahulu tidak lagi cocok, bisa dibuat keputusan baru. Transaksional antara lain: status ego, belaian, permainan, pembentukan skenario.

Status Ego
            Dalam diri setiap manusia, seperti dikutip Collins (1983), memiliki tiga status ego. Sikap dasar ego yang mengacu pada sikap orang tua (Parent= P. exteropsychic); sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C, arheopsychic). Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap orang (baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua). AT menggunakan suatu sistem terapi yang berlamdaskan pada teori kepribadian yang menggunakan pola perwakilan ego yang erpisah; orang tua, orang dewasa, dan anak. Menurut corey (1988), bahwa ego orang tua adalah bagian kepribadian yang merupakan introyeksi dari orang tua atau subtitusi orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali oleh kita, maka apa yang dibayangkan adalah perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu situasi, atau kita merasa dan bertindak terhadap orang lain dengan cara yang sama dengan perasaaan dan tindakan orang tua kita terhadap diri kita. Ego orang tua berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua dalam diri kita bisa “orang tua pelindung” atau orang tua pengkritik”.
            Ego orang dewasa adalah pengolah data dan informasi., adalah bagian objektif dari kepribadian, juga menjadi bagian dari kepribadian yang mengetahui apa yang sedang terjadi. Dia tidak emosional dan meghakimi, tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan ekternal. Berdasarkan informasi yang tersedia, ego orang dewasa menghasilkan pemecahan yang paling baik untuk masalah-masalah tertentu.
            Selanjutnya, ego anak berisi perasaan-perasaan, dorongan dan tindakan yang bersifat spontan, “anak” yang berada dalam diri kita bisa berupa “anak alamiah,” adalah anak yang impulsif, tak terlatih, spontan, dan ekspresif. Dia adalah bagian dari ego anak yang intuitif. Ada juga berupa “anak disesuiakan,” yaitu merupakan modifikasi-modifikasi yang dihasilkan oleh pengalaman traumatik, tuntutan-tuntutan, latihan, dan ketepatan-ketepatan tentang bagaimana caranya memperoleh perhatian.

Belaian
            Pada dasarnya setiap manusia memerlukan belaian dari orang lain, baik itu yang berlainan dalam bentuk fisik maupun emosional. AT memungut pandangan tentang motivasi manusia bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar berkaitan langsung dengan tingkah laku sehari-hari yang dapat diamati. Sejumlah kebutuhan dasar mencakup haus akan belainan, haus akan struktur, haus akan kesenangan dan haus akan pengakuan. Teori AT menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan yang bisa dicapai dalam bentuknya yang terbaik melalui keakraban. Hubungan yg akrab berlandaskan penerimaan posisi saya OK kamu OK di kedua belah pihak. Hubungan yg akrab lazimnya bertumpu pada penerimaan cinta di mana sikap defensive menjadi tidak perlu. Memberi dan menerima adalah ungkapan kenikmatan yang spontan alih-alih respon-respons terhadap upacara-upacara yang diprogram secara social. Keakraban adalah hbungan yang bebasa dari permainann karena tujuan-tujuannya tidak tersembunyi (Harris, 1967 hlm 151-152).
            Jadi salah satu cara teori AT menjabarkan tigkah laku manusia adalah dalam kerangka penyusunan waktu yang melibatkan berbagai cara meperoleh belaian dari orang lain. Cara-cara itu berada pada suatu kontinum dari pengakuan-pengakuan yg diperoleh seseorang dari orang lain melalui upacara-upacara dan permainan-permainan, terhadap belaian-belaian yang diperoleh melalui suatu hubungan pribadi yg bermakna dan akrab.

Permainan
            Para pendukung AT mendorong orang-orang untuk mengenali dan memahami perwakilan-perwakilan egonya. Alasannya adalah dengan mengakui ketiga perwakilan ego itu, orang-orang bisa membebaskan diri dari putusan- putusan anak yang telah usang dari pesan-pesan orang tua yg irrasional yang menyulitkan kehidupan mereka. AT mengajari orang bagian mana yang sebaiknya digunakan untuk membuat putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya. Disamping itu, para tokoh AT mengungkapkan bahwa orang-orang bisa memahami dialog internalnya antara orang tua dan anak. Mereka juga bisa mendengar dan memahami hubungan mereka dengan orang lain. Mereka bisa sadar akan kapan mereka terus terang dan kapan mereka berbohong kepada orang lain. Dengan menggunakan prinsip-prinsip AT, orang-orang bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya., dan mereka bisa mengubah respons-respons belaian dari negatif ke positif.
            AT memandang permainan-permainan sebagai penukaran belaian-belaian yg mengakibatkan berlarutnya-larutnya perasaan-perasaan tidak enak. Permainan-permainan boleh jadi memperlihatkan keakraban. Akan tetapi, orang-orang yang terlibat dalam transaksi-transaksi memainkan permainan menciptakan jarak di antara mereka sendiri dengan mengimpersonalkan pasangannya. Transaksi itu setidaknya melibatkan dua orang yang memainkan permainan. Transaksi permainan akan batal jika salah seorang menjadi sadar bahwa dirinya berada dalam permainan dan kemudian memutusakan untuk tidak lagi memainkannya.
            Segitiga drama Karpman bisa digunakan untuk membantu orang-orang untuk memahami permainan-permainan. Pada segitiga terdapat seorang penuntut, seorang penyelamat, dan seorang korban.

Pembentukan scenario
            Suatu keputusan yang dibuat dalam rangka merespon bagaimana reaksi figure orang tua terhadap reaksi awal anak perasaan dan kebutuhannya serta merupakan komponen dasar dari naskah hidup dari individu. Ada 4dasar posisi hidup :
1.      I’m OK – You’re OK
Individu mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan percaya orang lain.
2.      I,m OK – You’re not OK
Individu membutuhkan orang lain akan tetapi tidak ada yang dianggap cocok, individu merasa mempunyai hak untuk mempergunakan orang lain untuk mencapai tujuannya.
3.      I’m not OK – You’re OK
Individu merasa tidak terpenuhi kebutuhannya dan merasa bersalah.
4.      I’m not OK – You’re not OK
Individu merasa dirinya tidak baik dan orang lainpun juga tidak baik, karena tidak ada sumber belaian yang positif.
            Masing-masing dari posisi itu berlandaskan pada keputusan yang dibuat seseorang sebagai hasil dari pengalaman masa kecil. Bila, keputusan yang telah diambil, maka umumnya dia akan bertahan pada keputusannya itu, kecuali bila ada intevensi (konselor atau kejadian tertentu) yang mengubahnya. Posisi yang sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi Saya OK—Kamu OK. Dalam posisi tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka. Saya OK—kamu tidak OK, adalah posisi orang yang memproyeksikan masalah-masalanya kepada orang lain dan biasanya melimpahkan kesalahan pada orang lain, ciri pada posisi ini menunjukan sikap arogan, menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan seseorang dari teralinasi. Saya Tidak OK—Kamu OK , adalah posisi orang yang mangalami depresi, merasa tidak kuasa dibanding dengan orang lain dan cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain daripada keinginan diri sendir. Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK, adalah posisi orang yang memupus semua harapan, bersikap pesimis, dan memandang hidup sebagai sesutau yang hampa.

C.    TUJUAN TERAPI
      Tujuan utama dari AT adalah membantu klien dalam membuat keputusan-keputusan baru yang berhubungan tingkah lakunya saat ini dan arah hidupnya. Sedangkan sasarnya adalah mendorong klien agar menyadari, bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh ketusan awal mengenai posisi hidupnya serta pilihan terhadap cara-cara hidup yang stagnan dan deterministik. Menurut Berne (1964) dalam Corey (1988) bahwa tujuan dari AT adalah pencapaian otonom yang diwujudkan oleh penemuan kembali tiga karakteristik; kesadaran, spontanitas, dan keakraban.
      Penekanan terapi adalah menggantikan gaya hidup yang ditandai oleh permainan yang manipulatif dan oleh skenario-skenario hidup yang menyalahkan diri dan gaya hidup otonom ditandai dengan kesadaran spontanitas dan keakraban. Menurut Haris (19967) yang dikutip dalam Corey (1988) tujuan pemberian treatment adalah menyembuhkan gejala yang timbul dan metode treatment adalah membebaskan ego Orang Dewasa sehingga bisa mengalami kebebasan memilih dan penciptaan pilihan-pilihan baru atas pengaruh masa lampau yang membatasi. Tujuan terapeutik, dicapai dengan mengajarkan kepada klien dasar-dasar ego Orang Tua, ego Orang Dewasa, dan ego Anak. Para klien dalam setting kelompok itu belajar bagaimana menyadari dan menjabarkan ketiga ego selama ego-ego tersebut muncul dalam transaksi-transaksi kelompok.

D.    TEKNIK DAN PROSEDUR TERAPI
      Untuk melakukan terapi dengan pendekatan AT menurut Haris dalam Corey (1988) treatment individu-individu dalam kelompok adalah memilih analisis-analisis transaksional, menurutnya fase permualaan AT sebagai suatu proses mengajar dan belajar serta meletakan pada peran didaktik terapis kelompok. Konsep-konsep AT beserta tekniknya sangat relevan diterapkan pada situasi kelompok, meskipun demikian penerapan pada individu juga dianggap boleh dilakukan. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh, bila digunakan dengan pendekatan kelompok. Pertama, berbagai ego Orang Tua mewujudkan dirinya dalam transaksi-transaksi bisa diamati. Kedua, karakteristik-karakteristik ego anak pada masing-masing individu di kelompok bisa dialami. Ketiga, individu dapat mengalami dalam suatu lingkungan yang bersifat alamiah, yang ditandai oleh keterlibatan orang lain. Keempat, konfrontasi permainan yang timbal-balik dapat muncul secara wajar. Kelima, para klien bergerak dan membaik lebih cepat dalam treatment kelompok.
      Prosedur pada AT dikombinasikan dengan terapi Gestalt, seperti yang dikemukakan oleh James dan Jongeward (1971) dalam Corey (1988) dia menggabungkan konsep dan prosedur AT dengan eksperimen Gestalt, dengan kombinasi tersebut hasil yang diperoleh dapat lebih efektif untuk mencapai kesadaran diri dan otonom. Sedangkan teknik-teknik yang dapat dipilih dan diterapkan dalam AT, yaitu;
   1.    Analisis struktural, para klien akan belajar bagaimana mengenali ketiga perwakilan ego-nya, ini dapat membantu klien untuk mengubah pola-pola yang dirasakan dapat menghambat dan membantu klien untuk menemukan perwakilan ego yang dianggap sebagai landasan tingkah lakunya, sehingga dapat melihat pilihan-pilihan.
    2.    Metode-metode didaktik, AT menekankan pada domain kognitif, prosedur belajar-mengajar menjadi prosedur dasar dalam terapi ini.
    3.    Analisis transaksional, adalah penjabaran dari yang dilakukan orang-orang terhadap satu sama lain, sesuatu yang terjadi diantara orang-orang melibatkan suatu transaksi diantara perwakilan ego mereka, dimana saat pesan disampaikan diharapkan ada respon. Ada tiga tipe transaksi yaitu; komplementer, menyilang, dan terselubung.

E.     KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ANALISIS TRANSAKSIONAL
  • Kelebihan Menurut Gerald Corey :
  1.        Sangat berguna dan para konselor dapat dengan mudah menggunakannya.
  2.  2.   Menantang konseli untuk lebih sadar akan keputusan awal mereka.
  3.  3.   Integrasi antara konsep dan praktek analisis transaksional dengan konsep tertentu dari terapi gestalt amat berguna karena konselor bebas menggunakan prosedur dari pendekatan lain. Bab ini menyoroti perluasan pendekatan Berne oleh Mary dan almarhum Robert Goulding (1979), pemimpin dari sekolah redecisional TA. The Gouldings berbeda dari pendekatan Bernian klasik dalam beberapa cara. Mereka telah digabungkan TA dengan prinsip-prinsip dan teknik-teknik terapi Gestalt, terapi keluarga, psikodrama, dan terapi perilaku. Pendekatan yang redecisional pengalaman anggota kelompok membantu kebuntuan mereka, atau titik di mana mereka merasa terjebak. Mereka menghidupkan kembali konteks di mana mereka membuat keputusan sebelumnya, beberapa di antaranya tidak fungsional, dan mereka membuat keputusan baru yang fungsional. Redecisional terapi ini bertujuan untuk membantu orang menantang diri mereka untuk menemukan cara-cara di mana mereka menganggap diri mereka dalam peran dan victimlike untuk memimpin hidup mereka dengan memutuskan untuk diri mereka sendiri bagaimana mereka akan berubah.
  4.  4.   Memberikan sumbangan pada konseling multikultural karena konseling diawali dengan larangan mengaitkan permasalahan pribadi dengan permasalahan keluarga dan larangan mementingkan diri sendiri
  •         Kelemahan Gerald Corey, 1982: 398)
  1.         Banyak Terminologi atau istilah yang digunakan dalam analisis transaksional cukup membingungkan.
  2.         Penekanan Analisis Transaksional pada struktur merupakan aspek yang meresahkan.
  3.         Konsep serta prosedurnya dipandang dari perspektif behavioral, tidak dapat di uji     keilmiahannya.
  4.         Konseli bisa mengenali semua benda tetapi mungkin tidak merasakan dan menghayati aspek diri mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Corey.G.1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Eresco
Fauzan lutfi.2001. Pendekatan-pendekatan konseling individual. Malang:Elang Mas
Prawitasari, J.E. 1987. Analisis Transaksional. Yogyakarta
http://go2psychology.blogspot.com/2012/01/analisis-transaksional.html

Senin, 15 April 2013

Logoterapi


A.    Logoterapi
            1.      Sejarah
            Logoterapi dikemukakan oleh Viktor Emile Frankl. Frankl lahir pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa Frankl. Frankl yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dibesarkan dalam keluarga yang religius dan berpendidikan. Ibunya seorang Yahudi yang taat, dan ayahnya merupakan pejabat Departemen Sosial yang banyak menaruh perhatian pada kesejahteraan sosial. Frankl menaruh minat yang besar terhadap persoalan spiritual, khususnya berkenaan dengan makna hidup (Koeswara, 1992).

            2.      Pengertian
            Logoterapi adalah bentuk penyembuhan melalui penemuan makna dan pengembangan makna hidup, dikenal dengan therapy through meaning. Bastaman (2007) menambahkan selain therapy through meaning, logoterapi juga bisa disebut health through meaning. Logoterapi juga dapat diamalkan pada orang-orang normal.
            Dalam psikologi, logoterapi dikelompokkan dalam aliran eksistensial atau Psikologi Humanistik. Logoterapi dapat dikatakan sebagai corak psikologi yang memandang manusia, selain mempunyai dimensi ragawi dan kejiwaan, juga mempunyai dimensi spiritual, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat akan hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang spiritual tidak selalu identik dengan agama, tetapi dimensi ini merupakan inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup yang paling tinggi (Bastaman, 2007).
            Logoterapi mempunyai landasan filosofis yaitu: kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna, dan makna hidup (Koeswara, 1992). Dalam kebebasan berkeinginan, Frankl memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan berkeinginan dalam batas tertentu. Manusia tidaklah bebas dari kondisi-kondisi fisik, lingkungan, dan psikologis, namun manusia mempunyai kebebasan untuk mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi seperti itu. Keinginan akan makna merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang bahwa kesenangan, bukanlah tujuan utama manusia. Ia memandang bahwa kesenangan hanyalah efek dari pemenuhan dorongan dalam mencapai tujuan yaitu makna hidup. Makna hidup dapat ditemukan dalam keadaan apapun, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan.
Inti dari ajaran logoterapi adalah:
a.   Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna.
b.      Kehendak akan hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap manusia.
c.   Dalam batasan-batasan tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya.
d.     Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).

    Menurut Frankl, logoterapi memiliki wawasan mengenai manusia yang berlandaskan tiga pilar filosofis yang satu dengan lainya erat hubunganya dan saling menunjang yaitu:
a.    Kebebasan berkehendak (Freedom of Will)
      Dalam pandangan Logoterapi manusia adalah mahluk yang istimewa karena mempunyai kebebasan. Kebebasan disini bukanlah kebebasan yang mutlak, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan manusia bukanlah kebebasan dari (freedom from) kondisi-kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural tetapi lebih kepada kebebasan untuk mengambil sikap (freedom to take a stand) atas kondisi-kondisi tersebut. Kelebihan manusia yang lain adalah kemampuan untuk mengambil jarak (to detach) terhadap kondisi di luar dirinya, bahkan manusia juga mempunyai kemampuan-kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment). Kemampuan-kemampuan inilah yang kemudian membuat manusia disebut sebagai “ the self deteming being” yang berarti manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting dalam hidupnya.
b.    Kehendak Hidup Bermakna (The Will to Meaning)
    Menurut Frankl, motivasi hidup manusia yang utama adalah mencari makna. Ini berbeda denga psikoanalisa yang memandang manusia adalah pencari kesenangan atau juga pandangan psikologi individual bahwa manusia adalah pencari kekuasaan. Menurut logoterapi bahwa kesenagan adalah efek dari pemenuhan makna, sedangkan kekuasaan merupakan prasyarat bagi pemenuhan makna itu. Mengenal makna itu sendiri menurut Frankl bersifat menarik (to pull) dan menawari (to offer) bukannya mendorong (to push). Karena sifatnya menarik itu maka individu termotivasi untuk memenuhinya agar ia menjadi individu yang bermakna dengan berbagai kegiatan yang sarat dengan makna.
c.     Makna Hidup (The Meaning Of Life)
       Makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Untuk tujuan praktis makna hidup dianggap identik dengan tujuan hidup. Makna hidup bisa berbeda antara manusia satu dengan yang lainya dan berbeda setiap hari, bahkan setiap jam. Karena itu, yang penting bukan makna hidup secara umum, melainkan makna khusus dari hidup seseorang pada suatu saat tertentu. Setiap manusia memiliki pekerjaan dan misi untuk menyelesaikan tugas khusus. Dalam kaitan dengan tugas tersebut dia tidak bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa diulang. Karena itu, manusia memiliki tugas yang unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugasnya ( Frankl, 2004).

B.    Terapi logoterapi
            1.      Intensi Paradoksikal
        Teknik intensi paradoksikal merupakan teknik yang dikembangkan Frankl berdasarkan kasus kecemasan antispatori, yaitu kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi atau gejala yang ditakutinya (Koeswara, 1992).
       Intensi paradoksikal adalah keinginan terhadap sesuatu yang ditakuti. Landasan dari intensi paradoksikal adalah kemampuan manusia untuk mengambil jarak atau bebas bersikap terhadap dirinya sendiri (Boeree, 2007). Frankl (dalam Koeswara, 1992) mencatat bahwa pola reaksi atau respon yang biasa digunakan oleh individu untuk mengatasi kecemasan antisipatori adalah menghindari atau lari dari situasi yang menjadi sumber kecemasan. Contohnya, individu yang menghindari eritrofobia selalu cemas kalau-kalau dirinya gemetaran dan mandi keringat ketika berada di dalam ruangan yang penuh dengan orang. Kemudian, karena telah ada antisipasi sebelumnya, individu benar-benar gemetaran dan mandi keringat ketika dia memasuki ruangan yang penuh dengan orang. Individu pengidap eritrofobia ini berada dalam lingkaran setan. Gejala gemetaran dan mandi keringat menghasilkan kecemasan, kemudian kecemasan antisipatori ini menimbulkan gejala-gejala gemetaran dan mandi keringat. Jadi gejala antisipatori mengurung individu di dalam kecemasan terhadap kecemasan (Koeswara, 1992).
            2.      Derefleksi
         Derefleksi merupakan teknik yang mencoba untuk mengalihkan perhatian berlebihan ini pada suatu hal di luar individu yang lebih positif. Derefleksi memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang ada pada manusia. Dengan teknik ini individu diusahakan untuk membebaskan diri dan tak memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Dengan berusaha mengabaikan keluahannya, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala hyper intention akan menghilang (Bastaman, 2007).
       Pasien dengan teknik ini diderefleksikan dari gangguan yang dialaminya kepada tugas tertentu dalam hidupnya atau dengan perkataan lain dikonfrontasikan dengan makna. Apabila fokus dorongan beralih dari konflik kepada tujuan-tujuan yang terpusat pada diri sendiri, maka hidup seseorang secara keseluruhan menjadi lebih sehat, meskipun boleh jadi neurosisnya tidak hilang sama sekali.
           3.      Bimbingan rohani
          Bimbingan rohani adalah metode yang khusus digunakan terhadap pada penanganan kasus dimana individu berada pada penderitaan yang tidak dapat terhindarkan atau dalam suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya (Koeswara, 1992). Pada metode ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap dengan menunjukkan sikap positif terhadap penderitaanya dalam rangka menemukan makna di balik penderitaan tersebut.


C.   Langkah-langkah dalam proses terapi
  1. Menghadapi situasi itu. Diagnosis yang tepat merupakan langkah pertama dalam terapi dan merupakan sesuatu yang penting. Seluruh gangguan fisik pasien merupakan faktor-faktor fisik, psikologis, dan spiritual. Tidak ada neurosis somatogenik, psikogenik, atau noogenik saja. Tujuan diagnosis adalah menentukan sifatari setiap dan mengidentifikasi faktor manakah yang dominan. Apabila faktor fisik yang dominan, maka kondisi itu disebut psikosis, dan apabila faktor psikologis yang dominan maka kondisi adalah neurosis. Sebaliknya, apabila faktor spiritual yang dominan maka kondisi tersebut adalah neurosis noogeik.
  2. Kesadaran akan Simtom. Dalam menangani reaksi-reaksi neurosis psikogenik, logoterapi diarahkan bukan pada simtom-simtom dan bukan juga pada penyebab psikis, melainkan sikap pasien terhadap simtom-simtom tersebut. Dalam mengubah sikap pasien terhadap simtom-simtom itu, logoterapi benar merupakan suatu terapi ang personalitik.
  3. Mencari Penyebab. Logoterapi berurusan dengan penyadaran manusia terhadap tanggung jawab, karena tanggung jawab merupakan dasar yang hakiki bagi keberadaan manusia. Tanggung jawab berarti kewajiban, dan kewajiban tersebut hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan makna, yakni makna hidup manusia. Jadi, logoterapi berkenaan dengan makna dalam berbagai aspek dan bidangnya. Makna keneradaan itu dapat berupa makna hidup dan mati, makna penderitaan, makna pekerjaan, dan makna mati.
  4. Menemukan hubungan antara penyebab dan simtom.
Daftar Pustaka :
Konseling dan psikoterapi (Books.google.com)
Kesehatan mental 1 (Books.google.com)